Surabaya, Sidik nusantara
Kopi Arabika masih dipandang sebagai komoditas yang prospektif. Kebutuhan pasar ekspor terhadap kopi Arabika asal Indonesia sangat besar, termasuk Java Coffee dari Jawa Timur. Untuk itu produksi kopi Arabika harus ditingkatkan, karena minat pasar Eropa, seperti Belanda, Italia, Perancis, Swiss dan lainnya. Di pasar domestik sendiri minat konsumen terhadap kopi Arabika berkualitas baik juga menunjukkan peningkatan.
Melihat fakta di lapangan, sudah sewajarnya pemerintah Jawa Timur melalui Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur mencanangkan tahun 2014 sebagai tahun Pembudidayaan Produksi Kopi Arabika, tentu saja tanpa meninggalkan pengembangan kopi Robusta yang selama ini juga sangat diminati pasar domestic dan internasional. Dengan produksi yang lebih besar dan harga lebih terjangkau, maka proporsi konsumsi kopi Robusta di Indonesia lebih tinggi.
Kopi Robusta banyak menyebar di pasar-pasar tradisional, terutama di pulau Jawa. Kopi jenis tersebut juga sangat diminati di China, Brunei Darussalam, Malaysia dan beberapa Negara Asia lainnya. Ada beberapa Negara Eropa yang sebenarnya juga meminati kopi Robusta, tapi animonya tidak setinggi kopi Arabika. Untuk di Jawa Timur sendiri produksi kopi Robusta masih lebih tinggi dibanding Arabika. Produksinya menyebar di Malang, Jember, Banyuwangi, Blitar, Tulungagung dan beberapa kabupaten lainnya.
Dalam memenuhi ketersediaan bahan baku kopi berkualitas dalam jumlah besar, tentu peran petani kopi sangat besar, karena saat ini kopi rakyat lebih besar dibanding perkebunan besar (swasta dan negara). Untuk itu GAEKI, Asosiasi petani kopi Jawa Timur (APEKI), dan pemerintah daerah dituntut memberikan perhatian lebih dengan melaksanakan pembinaan kepada para petani kopi di Jawa Timur.
Tujuannya jelas agar petani bisa menghasilkan biji kopi berbiji banyak dan bermutu baik. Karena itu skill dan kemampuan petani dalam berbudidaya dan mengolah komoditi ini harus ditingkatkan. petani kopi di Indonesia khususnya di Jawa Timur, bisa sebaik petani kopi di Vietnam. di Vietnam, rata-rata produksi kopinya bisa mencapai 2-2,5 ton per hectare (Ha). Sementara petani kopi di Jawa Timur hanya mampu memproduksi 0,7-1 ton per hectare (Ha). Jadi perbeda-annya sangat besar sekali. Itu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, asosiasi terkait dan petani kopi.
Apakah petani kita salah di pengelolaan lahan, pemupukan, atau di skill budidaya? di Vietnam, ketersediaan pupuk dan pembi-naan petani benar-benar difasilitasi oleh pemerintah. Kami berharap ada perubahan mendasar dan mencarikan solusi terbaik, agar kebutuhan bahan baku kopi bisa teratasi dengan baik. perbaikan produktifitas dan mutu akan membuat pengusaha tenang, sehingga petani kopi pun bisa lebih sejahtera.
Dengan meningkatkan kemampuan budidaya dan skill pengolahan pasca panen, diharapkan produksi kopi petani bisa meningkat. Selain itu petani tidak lagi menjual kopi dalam bentuk ose, tapi diarahkan bisa menjual dalam bentuk roasting (sangrai) dan kopi bubuk kemasan. Karena nilai ekonominya lebih tinggi, sehingga memberi keuntungan lebih bagi petani.